Cari Blog Ini

Kamis, 29 Mei 2014

Bardet-Biedl Syndrome (BBS)

BBS pertama kali dilaporkan oleh Laurence dan Moon pada tahun 1866. Mereka mengatakan bahwa BBS ditandai dengan Obesitas, gangguan visual dan disabilitas mental. Kemudian Bardet dan Biedl pada tahun 1920an secara terpisah melaporkan hal yang sama, tetapi Bardet dan Biedl menambahkan ciri polidaktili dan hipogenitalisme. Sejak penambahan oleh Bardet dan Biedl ini banyak laporan yang dipublikasikan mengenai penyakit BBS. 

Saat ini telah dibuat Kriteria Mayor dan Minor untuk BBS. Kriteria Mayor merupakan tanda yang paling umum dan dipakai dasar dalam menegakkan diagnosis BBS. Adapun kedua kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Kriteria Mayor : degenerasi retina, obesitas, hipogonadisme, polidaktili, disfungsi renal dan retardasi mental.
  2. Kriteria Minor : Gangguan neurologis (ataxia), gangguan bicara dan pertumbuhan, abnormalitas kraniofasial, gangguan pendengaran, diabetes melitus, hipertensi, gangguan metabolik, abnormalitas kardiovaskuler, defek hepar, dan Hirschprung Disease.
.Rujukan 
Zaghloul NA, Katsanis N, 2009, Mechanistic insights into Bardet-Biedl syndrome, a model ciliopathy, J. Clin. Invest. 119:428–37 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2648685/

Referensi Acne


  1. Acne Vulgaris http://www.kalbemed.com/Portals/6/203_CME-Acne%20Vulgaris.pdf
  2. Acne Vulgaris http://emedicine.medscape.com/article/1069804-overview#showall
  3. an Up date on the Pathogenesis and Management of Acne Vulgaris http://piel-l.org/blog/wp-content/uploads/2011/04/hormonas-and-acne.pdf
  4. Pathogenesis of Acne Vulgaris  http://www.dannemking.com/newsletter/FaceFact/Pathogenesis%20of%20acne%20vulgaris.pdf
  5. The Association of Acne Vulgaris with Diet http://www.cutis.com/fileadmin/qhi_archive/ArticlePDF/CT/088020084.pdf
  6. Study of Psychological Stress, Sebum Production and Acne Vulgaris in Adolescent  http://www.medicaljournals.se/acta/content/?doi=10.2340/00015555-0231
  7. Acne Vulgaris a Diseases in Western Society http://archderm.jamanetwork.com/article.aspx?articleid=479093 
  8. Acne Vulgaris Treatment http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3088940/
  9. Review : Delivery of Pharmaceutical Agents to Treat Acne Vulgaris : Current Status and Perspective  http://jmbe.bme.ncku.edu.tw/index.php/bme/article/viewFile/1269/897

Referensi Rhinitis


  1. Influenza Report http://www.influenzareport.com/influenzareport.pdf
  2. Influenza http://emedicine.medscape.com/article/219557-overview#showall
  3. Diagnosing Rhinitis : Allergic vs Non Alergic http://www.aafp.org/afp/2006/0501/p1583.pdf
  4. Treatment of Common Cold in Children and Adult http://www.aafp.org/afp/2012/0715/p153.pdf
  5. Zinc for the Treatment of the Common Cold : a Systematic Review and Metaanalysis of RCT http://www.cmaj.ca/content/184/10/E551.full.pdf+html
  6. Echinacea for Treating Common Cold : a RCT http://annals.org/article.aspx?articleid=746567
  7. Allergic Rhinitis http://emedicine.medscape.com/article/134825-overview#showall
  8. Optimizing The Management of Alergic Rhinitis an Australian Prespective https://www.mja.com.au/journal/2005/182/1/optimising-management-allergic-rhinitis-australian-perspective
  9. Rhinitis http://www.bsaci.org/resources/rhinitis
  10. Rhinitis Vasomotor http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-andrina.pdf
  11. Vasomotor Rhinitis http://www.aafp.org/afp/2005/0915/p1057.pdf
  12. Rhinitis Sicca, Dry Nose and Rhinitis Atropicans http://www.skycapproducts.com/research/drynose.pdf
  13. Pharmacotherapy of Non Alergic Rhinitis http://emedicine.medscape.com/article/874171-overview#showall

Selasa, 27 Mei 2014

Dekstrometorfan Seabagi Adjuvant Pengobatan Nyeri

Dekstrometorfan Hbr (DMP) adalah obat batuk non narkotik yang bekerja sentral dengan struktur kimia mirip dengan levorphanol (sebuah opoid morfin). Meskipun DMP mempunyai afek anti nyeri yang lemah dengan cara menghambat reseptor nikotinik dari asetil kolin (nACHR), tetapi DMP terbukti bekerja secara sinergitik dengan analgesik morfin. (Damaj MI, Flood P, Ho KK, May EL, Martin BR 2004).

Rujukan
Damaj MI, Flood P, Ho KK, May EL, Martin BR 2004, Effect of Dextrometorphan and Dextrorphan on Nicotine and Neuronal Nicotinic Receptors: In Vitro and in Vivo Selectivity, J Pharmacol Exp Ther, 312(2), 780-5 http://jpet.aspetjournals.org/content/312/2/780.full.pdf+html

Referensi Umum Tentang Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


  1. Atlas Kulit http://www.medicine.uiowa.edu/dermatology/diseaseimages/
  2. Dermatology Article http://emedicine.medscape.com/dermatology

Struktur Toll Like Receptor

TLR merupakan glikoprotein transmembran integral tipe I yang memiliki bagian eksraseluler, transmembran dan bagian intraseluler. Tersusun atas 780-1100 asam amino dan dari sejumlah asam amino tersebut ± 80 % nya terletak dibagian ekstraseluler.
Domain ekstraseluler TLR berbentuk seperti sepatu kuda dengan tempat pengikatan ligan berada pada bagian concave. Bagian ekstraseluler mengandung 19-25 motif LRR (Leucine Rich repeat), tiap LRR tersusun atas 24-29 asam amino dengan motif XLXXLXLXX (L: Leusin, X: asam amino yang lain). Masing-masing LRR memiliki β strand yang dihubungkan dengan α helix melalui loops.
Domain intraseluler TLR  disebut dengan TIR (Toll/Interleukin Reseptor) domain. Bagian ini tersusun atas 5 β strand yang dikelilingi oleh 5 α helix. Pada dasarnya, TIR domain terbagi menjadi 3 bagian yakni boks 1,2 dan 3 yang berperan penting dalam proses signaling. Boks 2 TIR domain tersusun atas asam amino dengan motif RDxψ1ψ2G (ψ: residu hidrofobik, X: asam amino yang lain). Adapter protein terikat oleh TIR domain pada boks 2 saat terjadi aktifasi TLR, sehingga proses signaling dapat terjadi.

Domain ekstraseluler dihubungkan dengan domain intraseluler oleh transmembran helix tunggal. 

Referensi Otitis Media


  1. Otitis Media http://emedicine.medscape.com/article/994656-overview#showall
  2. Acute Otitis Media http://emedicine.medscape.com/article/859316-overview
  3. Chronic Suppurative Otitis Media http://emedicine.medscape.com/article/859501-overview#showall
  4. Komplikasi Intratemporal dan Intrakranial pada Otitis Media Akut Anak http://www.perhati.org/wp-content/uploads/2011/11/Final-edit-nadya-Komplikasi-intratemporal-dan-intrakranial1.pdf
  5. Metabolisme Hidrogen Peroksida dan Peranannya Pada Infeksi Telinga http://www.perhati.org/wp-content/uploads/2011/11/Metabolisme-hidrogen-perokside.pdf
  6. Penggunaan Tetes Telinga Serum Autologous dengan Amnion untuk Penutupan Perforasi Membran Timpani http://jurnal.fk.unand.ac.id/articles/vol_1no_1/45-52.pdf

Referensi Morbili


  1. Measles http://emedicine.medscape.com/article/966220-overview#showall
  2. Koplik's Spot http://www.cmaj.ca/content/180/5/583.full.pdf+html?sid=66f766b8-9dbe-4ea5-900d-6b9c92b92e01
  3. Measles http://www.cmaj.ca/content/184/16/1811.full.pdf+html?sid=841964e2-ea52-47b6-b89b-97412e1c567b

Referensi Vertigo


  1. Benign Paroxysmal Positional Vertigo http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMcp1309481
  2. Diagnosis and Management of Benign Paroxymal Positional Vertigo  http://www.cmaj.ca/content/169/7/681.full.pdf+html
  3. Benign Paroxysmal Positional Vertigo                          http://emedicine.medscape.com/article/884261-overview#showall
  4. Dizzines a Diagnostic Approach http://www.aafp.org/afp/2010/0815/p361.pdf
  5. Self Treatment of Benign Paroxymak Positional Vertigo http://www.neurology.org/content/63/1/150.full.pdf+html
  6. Evaluasi Pasien Vertigo Posisi Paroksimal Jinak dengan Terapi Reposisi Kanalit dan Latihan Brandt Daroff http://www.perhati.org/wp-content/uploads/2011/11/Evaluasi-BPPV-Dr1.pdf
  7. Sindrom kanalis semisirkularis superior http://www.perhati.org/wp-content/uploads/2011/11/Final-edit-nadya-Sindrom-Kanalis-dr.pdf
  8. Beberapa Ebook THT dapat diunduh disini http://medicalbooksfree.com/category/ent

Sabtu, 24 Mei 2014

Peran Reseptor Purinergik Terhadap Pelepasan Insulin

Serabut purinergik adalah serabut saraf yang mengeluarkan Neurotransmiter (NT) berupa ATP atau Adenosin. Dahulu serabut ini disebut dengan serabut saraf NANC (Non Adrenergic Non Cholinergic). Serabut ini sekarang telah diterima luas keberadaannya dan diketahui berperan dalam berbagai fungsi fisiologis. Seperti halnya serabut saraf yang lain, setelah mengeluarkan NT ATP atau Adenosin maka ATP akan berikatan dengan reseptor purinergik tipe P1 atau P2. ikatan ini akan menimbulkan sinyal intrasel untuk memberikan pengaruh serabut saraf purinergik pada sel target.

Reseptor P1 dan P2 ternyata tidak hanya mampu mengenali NT dari serabut saraf purinergik, tetapi ia juga bisa mengikat ATP atau Adenosin yang terdapat disekitarnya meskipun dihasilkan oleh sel-sel selain sel saraf purinergik. Reseptor P1 dan P2 tersebar luas di tubuh manusia termasuk sel beta pankreas.

Pada saat insulin dilepaskan dari sel beta pankreas akibat penutupan Kanal Kalium, sejumlah ATP juga ikut dikeluarkan bersama insulin. ATP yang keluar akan berikatan dengan reseptor P2 di permukaan membran sel beta. setelah berikatan, maka akan terjadi aktifasi dari PLC (Phospho Lipase C) yang mengubah fosfatidil inositol bifosfat mejadi Diasil Gliserol dan Inositol trifosfat. Inositol trifosfat yang terjadi akan memobilisasi kalsium intrasel yang terdapat di retikulum endoplasma. Kalsium yang  dikeluarkan akan berikatan dengan Calmodulin. Ca Calmodulin yang terbentuk mengaktifkan MLCK (Myosin Ligth Chain Kinase) yang me-reorganisasi sitoskeleton sehingga insulin yang terdapat digranula penyimpanan akan terangkut keluar menuju membran sel sehingga insulin akan dikeluarkan dari sel beta pankreas.

Rujukan
Burnstock G, 2009, Purinergic signalling: past, present and future, Braz J Med Biol Res 42(1), 3-8 http://www.scielo.br/pdf/bjmbr/v42n1/7400.pdf

Jumat, 16 Mei 2014

Peran C-Peptide Dalam Fisiologi Ginjal

Selama ini C-peptida hanya dipercaya sebagai zat yang inert (tidak mempunyai fungsi fisiologis terterntu). Tetapi berbagai publikasi ilmiah menunjukkan bahwa C-peptida berperan dalam fungsi filtrasi glomerolus dan reabsorbsi dari tubulus ginjal.

Diketahui bahwa pasien DM tp I yang dicirikan dengan ketiadaan insulin karena kerusakan sel beta pankreas (berarti juga ketiadaan C-peptida), pasien ini mengalami hiperfiltrasi dan peningkatan albuminuria. Kondisi ini dapat diperbaiki dengan pemberian C-peptida, tetapi tidak membaik dengan pemberian insulin eksternal. 

Kemampuan C-peptida dalam fungsi normal ginjal dan kemampuannya memperbaiki kelainan hiperfiltrasi dan albuminuria pada pasien DM tp I diperantarai dengan ikatan antara C-peptida dengan reseptornya. Setelah berikatan maka akan terjadi aktifasi protein G intrasel. Protein G pada gilirannya akan mengaktifkan (membuka) pintu Ca melalui proses tertentu. Kemudian peningkatan Ca intrasel menyebabkan:
  1. aktifasi eNOS yang membentuk NO. Zat NO menyebabkan relaksasi otot polos pembuluh darah termasuk pembuluh darah glomerulus.
  2. aktifasi Ca protein phosphatase II B yang mengaktifkan enzim Na-K ATPase yang penting dalam transport molekul termasuk di ginjal.
Pustaka
Wahren J, Ekberg K, Johansson J, Henriksson M, Pramanik A, Johansson B, 2000, Role of C Peptide in Human Physiology, Am J Physiol Endocrinol Metab, 278, E759-68
http://ajpendo.physiology.org/content/278/5/E759.long

Rabu, 14 Mei 2014

KEMAMPUAN BASOFIL DALAM MENGENALI CACING

            Setiap patogen mempunyai molekul tertentu yang berbeda dengan host sehingga dapat dikenali oleh sistem imun melalui PRR (Pathogen Recognition Receptor). Molekul ini disebut dengan PAMP (Pathogen Associated Molecular Pattern). PAMP pada virus, bakteri dan jamur berikut PRR-nya telah diketahui.  Akan tetapi PAMP pada cacing belum diketahui dengan sempurna, sehingga dilakukan banyak penelitian untuk mencari berbagai molekul cacing yang kemungkinan dapat berperan sebagai PAMP. 
            Telah diketahui bahwa cacing menghasilkan zat-zat yang dikeluarkan dari tubuhnya. Berbagai jenis protein, lipid, glycan dan enzim protease telah diidentifikasi sebagai parasite secretory/excretory products yang dapat dikenali oleh sistem imun. Selain parasite secretory/excretory products, molekul permukaan cacing seperti chitin juga dapat dikenali oleh sistem imun.
            Bila terdapat molekul-molekul cacing yang dikenali oleh basofil, maka molekul tersebut akan terikat oleh basofil  dengan tata cara tertentu. Berbagai mekanisme pengikatan molekul cacing dengan basofil telah diketahui.
  1.  Molekul cacing dapat berikatan dengan basofil melalui IgE dengan cara non spesifik antigen, yakni dengan ikatan molekul cacing dengan rantai samping karbohidrat dari IgE. Pada proses ini molekul cacing berfungsi sebagai super alergen.
  2. Ikatan antara protease cacing dengan PAR-Like Receptor (Protease Activated Receptor).
  3. Ikatan antara glycan-binding proteins (GBPs) dengan helminth glycans. 
  4. Ikatan antara molekul cacing dengan TLR.
  5. Ikatan antara molekul cacing dengan IgE yang spesifik.


            Kemampuan basofil mengenal molekul cacing diperlukan untuk mengawali aktifasi basofil. Setelah basofil teraktifkan, maka ia akan mengekspresikan berbagai molekul dengan fungsi tertentu dan mengeluarkan berbagai zat yang diperlukan untuk perlawanan terhadap cacing.

Senin, 12 Mei 2014

Migrasi Lekosit dari Darah ke Jaringan

Mengingat komponen sel dari sistem imun diproduksi di sumsum tulang dan dilepaskan ke darah, maka sel-sel tersebut harus berpindah dari darah ke jaringan yang mengalami invasi patogen. Migrasi lekosit ke jaringan dapat secara ringkas dijelaskan dengan proses marginasi (adheren/capture), Rolling, Firm Adhesion, dan Transendothelial Migration.

1)      Marginasi
Produk bakteri seperti LPS, komplemen (C5a) merangsang endotel untuk mengekpresikan P-selektin yang telah ada pada granula intrasel ke membran sel. P-selektin ini akan berikatan dengan PSGL-1 (P-Selectin Glycoprotein Ligand-1) yang berada di permukaan lekosit. Ikatan yang terjadi membuat lekosit menempel pada endotel, namun kekuatan dari ikatan ini lemah sehingga mudah untuk dilepaskan oleh kekuatan arus darah.

2)      Rolling
IL-1, TNF-α dan LPS merangsang endotel untuk memproduksi E-selektin yang kemudian berikatan dengan Sialyl Lex pada membran lekosit. Ikatan yang kedua ini semakin meningkatkan kekuatan perlekatan antara lekosit dengan endotel.

Lekosit yang telah menempel pada endotel akan menjadi aktif dan memproduksi L-selektin. Sialyl Lex yang ada di membran endotel sebagai ligan dari L-selektin akan mengikatnya sehingga semakin meningkatkan kekuatan ikatan antara endotel dengan lekosit. Meskipun kekuatan ikatan antara lekosit lebih kuat dibandingkan pada fase marginasi tetapi belum cukup kuat untuk menempel ke membran endotel sehingga ia akan tersapu oleh aliran darah tetapi tidak lepas dari endotel (berguling-guling di sepanjang endotel ketika tersapu oleh aliran darah).

3)      Firm Adhesion
Leucocyte Function Antigen LFA yang terletak di membran sel lekosit berikatan dengan ICAM-1 (Intercellular Adhesion Molecule-1) yang berada di membran endotel,  sedangkan Very Late Antigen di permukaan lekosit berikatan dengan VCAM-1 (Vascular Cell Adhesion Molecule-1) dari membran endotel. Dengan bertambahnya ikatan antara endotel dengan lekosit jelas semakin mempererat ikatan diantara keduanya.

Peradangan yang terjadi di tempat invasi patogen menghasilkan berbagai kemoatraktan, seperti IL-8. Kemoatraktan akan tersebar dan mencapai daerah sub membran basalis dari endotel. Kemoatraktan kemudian akan berikatan dengan Glikosaminoglikan (GAG) atau Duffy Antigen Receptor for Chemokine (DARC). Setelah berikatan maka kemoatraktan akan di bawa menuju ke permukaan membran sel di sisi yang berhubungan dengan darah secara transendotelial. Kemoatraktan yang telah berada di permuakan kemudian diikat oleh reseptor komplemen yang berada di lekosit. Ikatan ini bersama dengan ikatan antara integrin (LFA dan VLA) akan menyebabkan adanya firm adhesion lekosit dengan endotel.

4)      Transendothelial Migration
Proses migrasi lekosit dari pembuluh darah menuju ke jaringan yang mengalami inflamasi sudah diketahui sejak lama dan melibatkan berbagai molekul dengan proses yang rumit. Untuk memudahkan memepelajarinya, migrasi transendotelial dibagi menjadi dua, yakni:
a)      Migrasi melalui celah intersel (Paraseluler)
ICAM-1 dan VCAM-1 yang terikat dengan integrin mengalami Clustering, yang memberikan sinyal pada endotel untuk melepaskan ikatan antara endotel dengan endotel di sebelahnya dan memicu kontraksi protein kontraktil dari endotel, sehingga muncullah celah diantara endotel. Selanjutnya PECAM (Platelet Endothel Cell Adhesion Molecule) yang berada pada membran sel lekosit berikatan dengan PECAM yang terletak di membran sel endotel. Hasil akhir dari ikatan PECAM adalah semakin terbukanya celah antar endotel untuk dilewati lekosit. Akan tetapi bukan berarti lekosit melewati celah antar endotel seperti ia melewati sebuah terowongan. Kemudian lekosit menghasilkan MMP (matrix metaloproteinase) yang mencerna membran sel sehingga lekosit dapat memasuki jaringan. Sel lekosit yang telah masuk ke dalam jaringan akan bergerak menuju ke tempat invasi patogen dengan mengikuti gradien kemokin yang berada di jaringan.
b)      Migrasi secara Transeluler
Selain proses diatas, terdapat proses lain yang menjelaskan bagaimana cara lekosit memasuki jaringan. Cara ini berbeda karena sel lekosit tidak memasuki jaringan melalui celah endotel tetapi melalui endotel itu sendiri (transeluler). Mekaniseme pastinya belum banyak diketahui meskipun proses transeluler sudah dibuktikan keberadaannya secara invivo. 

Minggu, 11 Mei 2014

Peran Cytokine Pro Inflamasi Dalam Timbulnya Depresi dan Gangguan Otak

Depresi merupakan kelainan kejiwaan yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan depresi berpotensi meningkatkan morbiditas dan mortalitas penderitanya. hal ini karena penderita depresi cenderung melakukan usaha bunuh diri, penyalahgunaan obat, dan berbagai hal negatif lainnya.

Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengungkap segala hal yang berkaitan dengan depresi. dsalah satu yang menarik adalah ditemukannya peningkatan kadar sitokin pro inflamasi (IL-6 dan TNF alfa) dan protein fase akut (CRP/ C-Reactive Protein) dalam darah penderita depresi. Hal menarik lainnya adalah injeksi sitokin pro inflamasi menimbulkan gejala depresi pada hewan dan manusia. Kedua temuan ini memunculkan pertanyaan bagaimanakah sitokin bisa mencapai otak yang dilindungi oleh Blood Brain Barier (BBB), dan pertanyaan bagaimanakah sitokin bisa menimbulkan kelainan otak dan gangguan kejiwaan.

Berbagai teori dimunculkan untuk menjawab bagaimanakah sitokin masuk ke dalam otak. Diantara teori-teori tersebut adalah:
  1. sitokin mencapai otak melalui bagian yang "leaky" di BBB
  2. transport aktif dengan bantuan protein transporter
  3. aktifasi sel-sel disekitar pembuluh darah otak untuk menghasilkan sitokin yang kemudian akan memasuki jaringan otak
  4. ikatan sitokin dengan reseptor di serabut saraf (seperti N Vagus)
  5. rekrutmen sel yang aktif memproduksi sitokin ke dalam otak
Adapun peran sitokin dalam menimbulkan kelaina otak maupun gangguan kejiwaan adalah dengan cara: sitokin merangsang enzim IDO (Indoleamin 2,3 Oxidase) makrofag untuk mengubah triptofan menjadi kinurenin. Oleh enzim KAT II (kinurenine Amino Transferase II) yang terdapat di astrosit, kinurenin dirubah menjadi Kinurenine Acid (KA). KA yang terbentuk disekresikan dan berikatan dengan reseptor asetilkolin tipe nikotinik dan menghambatnya (blokade). Hasil dari blokade ini adalah berkurangnya sekresi neurotransmiter Glutamat dan Dopamin yang memicu terjadinya disfungsi kognitif.

Selain hal diatas, Kinurenine juga dirubah menjadi Quinolinic Acid (QA) oleh enzim KMO (Kinurenine Mono oxigenase) dan HAO (Hydroxy Anthranilic Acid Oxygenase) yang terdapat dalam mikroglia. QA mengaktifkan reseptor NMDA (N methyl D Aspartat) dan memicu peroksidasi lipid. hasil akhir dari proses ini adalah eksitotoksisitas, stress oksidative, dan neurodegenerasi.

Rujukan

Haroon E, Raison CL, Miller AH, 2012, Psychoneuroimmunology Meets Neuropsychopharmacology: Translational Implications of the Impact of Inflammation on Behavior, Neuropsychopharmacology Reviews  37, 137–162 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3238082/

Kegunaan Klinis Pengukuran C-Peptida dalam Pengobatan Pasien Diabetes Melitus

C-peptide diproduksi dengan jumlah yang sama dengan insulin oleh sel beta pankreas. C-Peptida telah lama dipakai sebagai cara mengukur kemampuan sekresi insulin endogen yang baik pada pasien DM. Pengukuran sekresi insulin menggunakan C-Peptida sangat membantu dalam praktek sehari-hari karena pengetahuan tentang sekresi insulin adalah hal yang mendasar dalam memberikan treatment yang berbeda antara DM tipe I dengan tipe II.

Meskipun saat ini telah ditemukan pemeriksaan kadar insulin secara langsung, akan tetapi pengukuran kadar C-Peptida darah masih dijadikan pilihan oleh banyak dokter karena harganya yang murah, ia stabil dalam darah dan bahkan dapat dijumpai dalam urin. Ditemukannya C-Peptida di dalam urin semakin memberikan peluang C-peptida untuk dijadikan pemeriksaan rutin DM mengingat pemeriksaan yang baik adalah yang tidak invasiv tetapi informatif.

Kunci utama dari peran pemeriksaan C-peptida adalah untuk membantu klasifikasi dan pengobatan pasien DM. Ketiadaan C-peptida pada pasien DM menunjukkan bahwa pasien tergolong DM tipe I dan mebutuhkan insulin secara absolut.

Rujukan
JonesAG, Hattersley AT, 2013, The clinical utility of C-peptide measurement in the care of patients with diabetes, Diabet. Med. 30, 803–17
Bisa diunduh di : http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/dme.12159/pdf

Minggu, 04 Mei 2014

LIFE CYCLE

Referensi seoutar Labiopalatognatoskisis
  1. In utero physiology: role of folic acid in nutrient delivery and fetal Development, http://ajcn.nutrition.org/content/85/2/598S.full.pdf+html
  2. Genetic of Cleft Lip and Palate : a Review  http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3351211/pdf/mjms-14-1-004.pdf
  3. Use offolic acid supplements and risk of cleftlip and palate ininfants: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3381272/pdf/bjgp62-e466.pdf
Mengapa Terjadi Penurunan Berat Badan Bayi Setelah Hari Ketiga dan Kapan Penurunan Berat Badan Dikatakan Tidak Normal

  1. Changes in the body weight of term infants, born in the tropics, during the first seven days of life, http://www.biomedcentral.com/content/pdf/1471-2431-13-93.pdf
  2. Postnatal weight loss in term infants: what is ‘‘normal’’ and do growth charts allow for it? http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1721692/pdf/v089p0F254.pdf
  3. http://www.who.int/childgrowth/standards/velocity/weight_vel_birth_to_60_days_girls.pdf
  4. http://www.who.int/childgrowth/standards/velocity/weight_vel_birth_to_60_days_boys.pdf
Referensi labiopalatoskisis 
Cleft Lip

Jagajan Karmacharya; Arlen D Meyers, MD, MBA 

http://emedicine.medscape.com/article/877970-overview#showall


Role of Fetal MRI in the Evaluation of Labioschisis (LBS) or Labiopalatoschisis (LPS) Isolated or Associated with Syndromic Conditions

Paolo Sollazzo, Presenter, Università "Sapienza" Roma, Policlinico Umberto I
Lucia Manganaro, Abstract Co-Author, University of Rome "La Sapienza"
Alessandra Tomei, Abstract Co-Author, Hospital Umberto I - "Sapienza" University of Rome
Francesca Fierro, Abstract Co-Author, Hospital "Umberto I"
Valeria Vinci, Abstract Co-Author, Policlinico Umberto I
Mario Marini, Abstract Co-Author, University of Rome

PURPOSE
To assess the potential role of fetal MRI in the diagnosis of cleft lip-palate.

METHOD AND MATERIALS
A total of 29 pregnant women with 32 fetuses (29 fetuses evaluated) with a diagnosis of cleft lip-palate determined by prenatal ultrasound were examined using fetal MRI with 1.5-T magnet (Siemens Somatom Avanto) using multiplanar T2-weighted single-shot fast spin-echo sequences and gradient echo with steady-state free precession (SSFP) sequences. Fetal age ranged from 19 to 37 weeks of gestation. We evaluated for each fetus some parameters of cranial and maxillo facial development like anteroposterior diameter of the mandible and the distance between the two rami, interorbital and biorbital diameter, inferior facial angle and fronto-occipital bone diameter. Then we assessed location and extention of the cleft lip, the degree of involvement of palate and defined the presence of associated anomalies. In all cases MRI findings were compared with postnatal US or autoptic findings considered as the standard of reference.

RESULTS

In all fetuses critical anatomic structures of face (orbits, nasal bones, upper lip and palate, chin) were well identified with MRI such as the presence of cleft-lip-palate. In 18 fetuses MRI confirmed the US diagnosis. In the remaining 11 fetuses with positive US examination, the comparison between US and MRI findings revealed a greater detail in 8 cases of lip-palate cleft in the evaluation of hard and soft palate.
In 3 cases MRI disconfirmed/changed the diagnosis or added fetal anomalies missed at US (2 cases with midface anomalies, 1 cleft lip).
 
CONCLUSION
MRI with fast imaging has a crucial role in the recognition of the finest details of normal fetal anatomy. Fetal MRI evaluation is a valuable tool to investigate cleft-lip-palate and facial anomalies, to corroborate US diagnosis and exclude possible associated CNS and non-CNS abnormalities and to plan pregnancy management and pre- or postnatal therapy.

CLINICAL RELEVANCE/APPLICATION
Fetal MRI enables to analyze completely head district, to make an evaluation of facial skeleton biometric development and to precociously detect potential associated pathologies.

http://archive.rsna.org/2011/11011090.html

Kamis, 01 Mei 2014

SUMBER PUSTAKA BERKAITAN DENGAN
 PROTEIN ENERGY MALNUTRITION

  1. Malnutrition and health in developing countries, http://www.cmaj.ca/content/173/3/279.full.pdf+html
  2. Malnutrition and Infection: Complex Mechanisms and Global Impacts, http://www.plosmedicine.org/article/fetchObject.action? uri=info%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.pmed.0040115&representation=PDF
  3. Prealbumin: A Marker for Nutritional Evaluation, http://www.aafp.org/afp/2002/0415/p1575.pdf
  4. Evolution of Nutritional Management of AcuteMalnutrition, http://www.indianpediatrics.net/aug2010/667.pdf
Protein Energy Malnutrition Impairs Homeostatic Proliferation of Memory CD8 T Cells

Smita S. Iyer, Janel Hart Chatraw, Wendy G. Tan, E. John Wherry,
Todd C. Becker, Rafi Ahmed, and Zoher F. Kapasi

Nutrition is a critical but poorly understood determinant of immunity. There is abundant epidemiological evidence linking protein malnutrition to impaired vaccine efficacy and increased susceptibility to infections; yet, the role of dietary protein in immune memory homeostasis remains poorly understood. In this study, we show that protein-energy malnutrition induced in mice by low-protein (LP) feeding has a detrimental impact on CD8 memory. Relative to adequate protein (AP)-fed controls, LP feeding in lymphocytic choriomeningitis virus (LCMV)-immune mice resulted in a 2-fold decrease in LCMV-specific CD8 memory T cells. Adoptive transfer of memory cells, labeled with a division tracking dye, from AP mice into naive LP or AP mice demonstrated that protein-energy malnutrition caused profound defects in homeostatic proliferation. Remarkably, this defect occurred despite the lymphopenic environment in LP hosts. Whereas Ag-specific memory cells in LP and AP hosts were phenotypically similar, memory cells in LP hosts were markedly less responsive to polyinosinic-polycytidylic acid-induced acute proliferative signals. Furthermore, upon recall, memory cells in LP hosts displayed reduced proliferation and protection from challenge with LCMV-clone 13, resulting in impaired viral clearance in the liver. The findings show a metabolic requirement of dietary protein in sustaining functional CD8 memory and suggest that interventions to optimize dietary protein intake may improve vaccine efficacy in malnourished individuals.

Silahkan Lihat di http://www.jimmunol.org/content/188/1/77.full.pdf+html?sid=1663770f-99aa-4dba-8dd1-93fceb80739d

Protein energy malnutrition decreases immunity and increases susceptibility to influenza infection.
Andrew Taylor,1Keyur Vora,1Weiping Cao,1Wun-Ju Shieh,2Sherif Zaki,2Jacqueline Katz,1Suryaprakash Sambhara,1 and Shivaprakash Gangappa1

1Influenza Division, National Center for Immunization and Respiratory Diseases, Centers for Disease Control and Prevention, Atlanta, GA 2Divison of High Consequence Pathogens and Pathology, National Center for Emerging and Zoonotic Infectious Diseases, Centers for Disease Control and Prevention, Atlanta, GA
Protein energy malnutrition (PEM), a common cause of secondary immune deficiency in children, is associated with an increased risk of infection. We investigated the influence of PEM on susceptibility and immune responses to influenza virus infection using a mouse model. Groups of weanling mice maintained on isocaloric diets providing varying levels of protein energy [18%/adequate protein (AP), 5%/low protein (LP), and 2%/very low protein (VLP)] were infected with either 2009 A(H1N1) or laboratory-adapted H1N1 virus and assessed for disease severity and immune responsiveness. We found that compared to mice fed with AP and LP diets, mice maintained on the VLP diet exhibited an increase in virus-induced mortality and morbidity. Mice maintained on the VLP diet demonstrated diminished IFN{gamma} levels and increased virus titer and inflammatory cell types in lung tissue, compared with mice on higher protein content diets. Moreover, groups of mice maintained on the VLP diet showed a lower hemagglutination-inhibition antibody response and reduced total numbers of splenic NP-specific CD8+ T cells compared with mice on higher protein content diets. Following re-feeding of the VLP group with the AP diet, post-infection morbidity, mortality and virus titer were all improved. Our results highlight the impact of protein energy on immunity to influenza infection and suggest balanced protein energy replenishment may be one strategy to boost immunity against influenza viral infections.

The Journal of Immunology, 2011, 186, 67.5