Cari Blog Ini

Selasa, 17 Juni 2014

Pegloticase for Treating Chronic Gout

Hiperurisemia kronis menjadi masalah kesehatan yang banyak dijumpai dalam praktek sehari-hari. Kondisi ini sering menimbulkan berbagai konplikasi seperti Gout Arthritis, thopus, Nefrophati, dan Nefrolitiasis. Berdasarkan hal ini maka perlu dilakukan manajemen (terapi) untuk mempertahankan kadar asam urat plasma dalam keadaan normal. usaha yang dikerjakan adalah dengan mengurangi produksinya atau meningkatkan eksresi asam urat.

Kenyataan bahwa banyak terapi untuk hiperurisemia yang tidak memenuhi harapan pasien dan dokter, maka berbagai pihak berusaha untuk mendapatkan obat baru dalam mengatasi hiperurisemia. Hasil dari usaha ini adalah ditemukannya Pegloticase untuk terapi hiperurisemia yang gagal diterapi dengan allopurinol.

Pegloticase adalah Urat Oxidase mamalia yang direkayasa dengan menambahkan PEG (Poli Etilen Glikol) pada enzim ini. Berdasarkan proses penambahan ini maka nama obat yang terbentuk disebut dengan pegloticase. Ketersediaan obat Pegloticase dalam darah sangat baik bila diberikan melalui intravena daripada sub cutan. Karena masa kerja yang panjang, maka hanya diperlukan pemberian 1 kali setiap 2-4 minggu.  

Mekanisme kerja pegloticase adalah mengubah asam urat menjadi allantoin yang lebih larut sehingga bisa dibuang lewat ginjal.

Rujukan
Sundy JS, Becker MA, Baraf HSB, Barkhuizen A, Moreland LW, Huang W, Waltrip RW,  Maroli AN, Horowitz Z,Reduction of Plasma Urate Levels Following Treatment With Multiple Doses of Pegloticase (Polyethylene Glycol–Conjugated Uricase) in Patients With Treatment-Failure Gout, Arthriris & Rheumatism
Vol. 58, No. 9, September 2008, pp 2882–2891

Sundy JS,  Ganson NJ, Kelly SJ, Scarlett EL, Rehrig CD, Huang W, Hershfield MS, Pharmacokinetics and Pharmacodynamics of Intravenous PEGylated Recombinant Mammalian Urate Oxidase in Patients With Refractory Gout, Arthriris & Rheumatism Vol 56, No. 3, Maret 2007, pp 1021–1028

Minggu, 15 Juni 2014

Febuxostat For Treating Chronic Gout

Acute Gout Arthritis adalah peradangan sendi akut akibat penumpukan kristal sodium monourat di dalam sendi atau jaringan sekitar sendi. Kondisi ini sangat terkait dengan hiperurisemia. Apabila hiperurisemia berlangsung kronis, maka akan terjadi kerusakan sendi dan penimbunan kristal urat diberbagai tempat. 

Usaha mengobati hiperurisemia dilakukan dengan pemberian allopurinol. Sayangngya obat ini sering menimbulkan Allopurinol Hypersensitivity Syndrome yang mengancam jiwa disamping pada beberapa kasus tidak memenuhi harapan dalam menurunkan kadar asam urat dibawah 6 mg/dl (menurut European League Againts Rheumatism) ataupun 5 mg/dl (menurut British Society for Rheumatology). Keadaan ini mendorong para ahli untuk menemukan obat baru dalam pengobatan gout kronis, salah satunya adalah Febuxostat.

Febuxostat adalah inhibitor Non Purin Xanthin Oxidase yang bekerja selektif dan sangat poten dibandingkan allopurinol. Ia tidak mengganggu enzim lain dalam metabolisme purin maupun pirimidin.

Secara farmakokinetik, Febuxostat diserap dengan baik dalam pemebrian oral. 84% Febuxostat diabsorbsi dari GIT dan absorbsi ini tidak terlalu dipengauhi oleh makanan ataupun antasida. Febuxostat yang terabsorbsi akan memasuki aliran darah dan berikatan dengan albumin didalam darah. Febuxostat didegradasi didalam hati dan disekresikan melalui feces dan urin, hanya 5 % febuxostat dieksresi dalam bentuk utuh. Waktu paruh obat ini adalah 5-8 jam.

Febuxostat dapat diberikan bersamaan dengan obat untuk terapi GA yang lain seperti NSAID dan kolkisin, ia juga bisa digunakan bersamaan dengan warfarin dan hidroklorotiazid karena tidak berinteraksi dengan obat-obat tersebut. Akan tetapi sebaiknya tidak digunakan bersamaan dengan 6-mercaptopurine.

Febuxostat terbukti lebih baik dalam menurunkan kadar alopurinol serum dibawah 6 mg/dl (EULAR) ataupun dibawah 5 mg/dl (BSR). Dosis yang dipakai adalah 80 mg dan bisa dinaikkan menjadi sampai 120 mg dalam 2 minggu bila efek yang diinginkan belum tercapai. Akan tetapi tetap diperlukan terapi profilaksis (Kolkisin atau NSAID) untuk mencegah kekambuhan GA. (Edwards NL 2009)

Meskipun demikian, menurut Tayar JH et al 2012, menginagat the Grade of Evidence dalam penelitian oleh Edwards NL berkisar antar rendah sampai tinggi, maka diperlukan penelitian lebih lanjut untuk meyakinkan akan keefektifan dan keamanan penggunaan Febuxostat untuk terapi Hiperurisemia kronis pada pasien GA.

Rujukan




Systemic Corticosteroids for Acute Gout

Gout arthritis (GA) termasuk penyakit sendi akut akibat deposisi kristal urat yang sering dijumpai di praktek sehari-hari. Telah banyak metode pengobatan dikembangkan untuk mengobati GA. Diantaranya adalah kolkisin dan NSAID. Mengingat munculnya gout melibatkan proses inflamasi, memunculkan pertanyaan apakah kortikostreoid sistemik efektif dan aman untuk pengobatan GA.

Investigasi yang dilakukan oleh Janssens HJ et al 2008 menunjukkan bahwa:
  1. Belum bisa disimpulkan bahwa kortikosteroid sistemik efektif untuk pengobatan GA.
  2. Pemberian kortikosteroid sistemik jangka pendek terbukti aman untuk pasien.
Rujukan

Minggu, 08 Juni 2014

Dermatology and ENT Free Ebook


  1. Di alamat ini bisa ditemukan free ebook seputar Ilmu Penyakit Kulit, sebanyak 37 free ebook bisa didownload. http://medicalbooksfree.com/category/dermatology
  2. Di alamat ini bisa ditemukan free ebook seputar Ilmu Penyakit THT, sebanyak 18 free ebook bisa didownload. http://medicalbooksfree.com/category/ent

Jumat, 06 Juni 2014

Acupuncture for Osteoarthritis

OA merupakan penyebab nyeri dan gangguan fungsi yang cukup banyak, tetapi belum ada metode pengobatan yang aman dan efektif. Dalam rangka usaha menemukan pengobatan OA yang aman dan efektif, Manheimer et al 2010 melakukan investigasi apakah acupuncture efektif dalam mengobati OA. Hasilnya adalah:
  1. Acupuncture tidak secara bermakna bermanfaat untuk pengobatan OA
  2. Efek acupuncture yang sering dilaporkan merupakan efek plasebo
Rujukan

Glucosamine for Osteoarthritis

OA merupakan salah satu jenis artritis yang disertai dengan kerusakan rawan sendi dan menimbulkan kecacatan. Berbagai usaha dilakukan untuk mengobati OA, salah satunya adalah penggunaan glikosamin. Akan tetapi apakah glikosamin efektif dan aman untuk pengobatan OA masih menjadi pertanyaan besar.

Tawheed et al 2005 melakukan penelitian dengan melihat 25 RCT yang melibatkan 4963 pasien dengan hasil sebagai berikut:
  1. Glikosamin tidak terbukti bermanfaat mengurangi nyeri pada OA
  2. Glikosamin tidak terbukti memperbaiki WOMAC function
  3. Toksisitas glikosamin setara dengan placebo
Rujukan

Kamis, 05 Juni 2014

Acethaminophen for Osteoarthritis (OA)

OA merupakan penyakit sendi yang sering dijumpai. Para ahli menganjurkan paracetamol (acethaminophen) dan NSAID (Non Steroid Anti Inflamation Drugs) sebagai pengobatan farmakologi lini pertama. Berdasarkan hal ini maka muncul pertanyaan manakah yang lebih baik (paracetamol atau NSAID) untuk pengobatan lini pertama OA?

Thowheed et al 2006 melakukan penelitian dengan melihat 15 RCT yang melibatkan 5986 pasien dengan hasil sebagai berikut:

  1. Parasetamol lebih baik untuk merawat OA daripada plasebo
  2. NSAID lebih baik untuk pengobatan OA daripada parasetamol
  3. Efek samping pada saluran cerna lebih sering terjadi pada NSAID daripada parasetamol
Rujukan

Rabu, 04 Juni 2014

Tramadol for Osteoarthritis (OA)

Tramadol banyak digunakan dalam pengobatan OA karena tidak menimbulkan masalah ginjal dan tidak menggangu kartilago sendi, hal-hal yang sering terjadi dengan NSAID. Akan tetapi apakah tramadol memang terbukti baik untuk terapi OA?

Penelitian yang dilakukan oleh Cepeda MS et al pada tahun 2006 menunjukkan bahwa tramadol bermanfaat untuk mengurangi nyeri pada OA meskipun manfaatnya kecil. Tetapi karena banyaknya efek samping yang ditimbulkan, banyak pasien menghentikan terapi menggunakan tramadol ataupun kombinasi tramadol dan paracetamol.

Rujukan

Toll Like Receptor sebagai Patogen Recognition Receptor

Manusia sebagai organisme yang berinteraksi dengan lingkungan, menjadikannya berresiko terpapar pathogen hampir setiap saat. Baik melalui kulit, conjunctiva, mucosa tractus respiratorius, mucosa tractus digestivus maupun mucosa tractus urogenital. Akan tetapi tidak setiap paparan pathogen menyebabkan terjadinya suatu penyakit. Hal ini sangat bergantung pada kekuatan sistem imun dan kemampuan pathogen untuk menghindar dari sistem imun.
Keberhasilan sistem imun mengatasi pathogen haruslah diawali dengan kemampuannya membedakan self dan non self. Artinya haruslah ada struktur tertentu pada pathogen yang membedakannya dengan struktur host,  sering disebut dengan Pathogen Associated Molecular Pattern (PAMP). Struktur inilah yang akan dikenali oleh host melalui reseptor yang disebut dengan pathogen Recognition Receptor (PRR).
Terdapat beberapa PRR yang telah dikenal, salah satunya adalah TLR (Toll Like Receptor) yakni  reseptor yang mirip dengan Toll pada lalat Drosophilla. Berbagai penelitian menunjukkan bawha organisme multiseluler yang memiliki rongga badan mempunyai struktur mirip Toll (Toll Like Receptor), bahkan pada manusia telah teridentifkasi 10 macam TLR.
Ikatan antara TLR dengan salah satu PAMP mengawali serangkaian proses yang penting dalam inisiasi respon seluler dari innate immunity.

Selasa, 03 Juni 2014

PERAN BASOFIL DALAM TERJADINYA EOSINOFILIA DAN MIGRASI EOSINOFIL KE DALAM JARINGAN

Eosinofil mempunyai peran penting dalam pertahanan terhadap cacing, karena ia mampu mengeluarkan zat-zat toksik terhadap cacing. Eosinofil diproduksi di dalam sumsum tulang dan dilepaskan ke sirkulasi dan akan memasuki jaringan yang diinvasi oleh cacing. Berbagai kemokin golongan C-C Chemokine telah diketahui bekerja untuk menarik eosinofil ke jaringan, diantaranya adalah Monocyte Chemotactic Protein-1 (MCP-1), MCP-3, MCP-5 dan eotaxin (Chensue SW, 2001).

Basofil mempunyai peran dalam terjadinya eosinofilia dan migrasi eosinofil ke dalam jaringan dengan cara memproduksi IL-4, IL-5 dan IL-13 (Phillips C et al, 2003). IL-5 dikenal sebagai sitokin yang mampu meningkatkan produksi eosinofil di dalam sumsum tulang dan pelepasan eosinofil ke dalam sirkulasi serta memperpanjang masa hidup eosinofil (Collin DA et al, 1995; Herbert et al, 2000). IL-4 dan IL-13 merangsang  endotel untuk mengekspresikan adhesion molecule yang memudahkan proses masuknya eosinofil ke dalam jaringan serta merangsang endotel untuk memproduksi dan mengekspresikan eotaxin-3 yang merupakan kemotaktik untuk eosinofil(Webb DC et al, 2000; Cuvelier & Patel, 2001; Teixeira MM et al, 2001; Stone et al, 2010). IL-4 dan IL-13 juga merangsang sel epitel usus untuk memproduksi eotaxin yang merupakan faktor kemotaktik kuat untuk eosinofil (Rothenberg ME, 1999; Ahrens R et al, 2008; Stadnyk AW, 2008; Voehringer, 2009).

Interleukin 4, IL-13 dan TSLP yang dihasilkan basofil mampu mengaktifkan makrofag kearah Alternative activated Macrophage (AAM) (Kreider et al, 2007). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa AAM memproduksi Ym1 dan Leukotrien yang bersifat kemotaktik terhadap eosinofil.

Daftar Pustaka

 Ahrens R, Waddell A, Seidu L, Blanchard C, Carey R, Forbes E, Lampinen , Wilson T, Cohen E, Stringer K, Ballard E, Munitz A,  Xu H, Lee N, Lee JJ, Rothenberg ME, Denson L, Hogan SP, 2008, Intestinal Macrophage/Epithelial Cell-Derived CCL11/Eotaxin-1 Mediates Eosinophil Recruitment and Function in Pediatric Ulcerative Colitis,J Immunol; 181, 7390–9.
 Chensue SW, 2001, Molecular Machination: Chemokine Signals in Host-Pathogen Interaction, Clin Microbiol Rev: 14(4), pg 821-35
 Collin DA, Jhonson G, Jose PJ, William TJ, 1995, Cooperation Between Interleukin-5 and the Chemokine Eotaxin to Induced Eosinophil Accumulation in Vivo, J  Exp Med; 182, pg 1169-74
 Cuvelier SL, Patel KD, 2001, Shear-dependent Eosinophil Transmigration on Interleukin 4–stimulated Endothelial  cells: Role for Endothelium-associated Eotaxin-3, J. Exp. Med.; 194(12), pg 1699-1709
 Herbert DR, Lee JJ,  Lee NA, Nolan TJ, Schad GA, AbrahamD, 2000, Role of IL-5 in Innate and Adaptive Immunity to Larval Strongyloides stercoralis in Mice, J Immunol; 165, 4544–51.
 Kreider K, Anthony RM, Urban JF. Gause WC, 2007, Alternatively activated macrophages in helminth infections, Curr Opin Immunol; 19(4): 448–53.
 Phillips C, Coward WR, Pritchard DI, Hewitt CRA, 2003, Basophils express a type 2 cytokine profile on exposure to proteases from helminths and house dust mites, J. Leukoc. Biol: 73: pg 165–71
 Rothenberg ME, 1999, Eotaxin: An Essensial Mediator of Eosinophil Trafficking into Mucosal Tissue, Am J Respir Cell Mol Biol; 21, pg 291-5
 Stadnyk AW, 2002, Intestinal Epithelial Cells as a Source of Inflammatory Cytokines and Chemokines, Can J Gastroenterol; 16(4), pg 241-6
 Stone KD, Prussin C, Metcalfe DD, 2010, IgE, mast cells, basophils, and eosinophils, J Allergy Clin Immunol; 125, S73-80
 Teixeira MM, Talvani A, Tafuri WL, Lukacs NW, Hellewell PG, 2001, Eosinophil Recruitment Into Site Of Delayed-Type Hypersensitivity Reaction In Mice, J Leukoc Biol; 69, pg 353-60
Voehringer D, 2009, The role of basophils in helminth infection, Trends in Parasitol ;25 (12), pg 551-6
Webb DC, McKenzie ANJ, Koskinen AML, Yang M, Mattes J, Foster PS, 2000, Intergarted Signals Between IL-13, IL-4 and IL-5 Regulates Airways Hyperreactivity, J Immunol; 165, pg 108-13

Minggu, 01 Juni 2014

Referensi Herpes Simpleks


  1. Dermatologic Manifestation of Herpes Simplex Infection
  2. Genital Herpes Infection : a Review
  3. Neonatal Herpes Infection
  4. Herpes Viruses
  5. Treatment of Common Cutaneus Herpes Infection
  6. Immunity to Herpes Simplex
  7. Neurologic Comnplication of Herpes Simplex Type 2 Infection
  8. Reaktivasi Herpes Sipmleks Laten

Hubungan Antara Asma Sekarang Dengan Paparan Secondhand Smoke (SHS) di Dalam Mobil pada Orang Dewasa yang Tinggal di Amerika

Banyak negara telah memberlakukan UU tentang larangan merokok di dalam gedung milik umum, akan tetapi paparan SHS di dalam ruangan milik pribadi seperti didalam mobil masih menjadi sumber paparan asap rokok yang besar.

Penelitian yang dilakukan di Indiana, Kentucky, Lousiana, dan Missisipi (AS) dengan melibatkan 17.863 orang dewasa yang tidak pernah merokok,  menunjukkan bahwa mereka lebih beresiko terkena asma bronkilale ketika sering terpapar SHS di dalam mobil daripada mereka yang tidak pernah merokok tetapi tidak pernah terpapar SHS di dalam mobil.

Rujukan 
Nguyen KH, King BA, Dube SR, 2014, Association Between Current Asthma and Secondhand Smoke Exposure in Vehicles Among Adulkts Living in Four US States, Tob Control: 23(3) http://tobaccocontrol.bmj.com/content/early/2014/05/02/tobaccocontrol-2013-051526.short?g=w_tobaccocontrol_ahead_tab